إِ
عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِذَاضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِالسَّاعَةَ,كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَاْلأَمْرُ إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِالسَّا عَةَ. (اَخْرَجَهُ الْبُخَا رِيُّ فِيْ كِتَابِ الرِقَاقْ)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancurannya. Salah seorang sahabat bertanya:”Bagaimanakah menyia-nyiakannya, hai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Apabila perkara itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya (HR Imam Bukhari).
Masjid Istiqomah, begitu nama masjid jami di komplekku. Letaknya tak jauh, hanya beberapa meter saja dari halaman rumahku. Aku senang tinggal disini. Terutama karena dekat dengan masjid. Alhamdulillah, aku merasa terpanggil untuk memakmurkan masjid Al-Istiqomah.
“Mas Yusuf, katanya masjid kita mau direhab ya?” tanyaku pada mas Yusuf, dikesempatan menunggu sholat isa. Aku memang sering memanfaatkan waktu menjelang isa untuk bertanya apa saja pada Mas Yusuf. Semacam diskusi begitu.
“Ah, lagu lama!” kata Mas Yusuf. Lalu bibirnya membentuk garis lurus, pada saat yang sama dadanya dipenuhi udara yang lalu dikeluarkannya dengan cepat. Kecewa.
“Iya-ya,” ucapku setuju.
“Dari dulu kok, rencana melulu, be-te dengernya.”
“Apaan tuh, be-te?” “Boring total.
Makanya kamu bergaul, War!” Mas Yusuf tergelak.
Dia memang lebih senang memanggilku dengan Anwar. Padahal biasanya teman-temanku memanggilku cukup Awang saja. Seperti kukatakan tadi, aku memang senang tinggal dekat masjid. Tapi kalau aku membandingkan bangunan masjid ini dengan masjid lain, sedih juga rasanya. Padahal aku yakin, penghasilan penghuni komplek ini cukup lumayan. Pegawai bank mendominasi komplek ini. Mestinya kami malu. “Wong komplek bank, masak masjidnya kaya kandang sapi,” sindir seorang ustadz dalam suatu ceramah dhuha.
Tapi, sampai aku lulus SMA dan Mas Yusuf sukses meraih gelar sarjana ekonominya, masjid Istiqomah tetap begitu-begitu saja. Tak ada perubahan berarti.
“War, buku dan kaset itu sudah kamu cek?” tanya Mas Yusuf padaku. “Masih kurang, Mas, Chaidir dan Zaini belum bayar Snada-nya. Dan ibu Azkia bawa Yusuf Qorodhowi, yang tebal itu lho….”
“Fiqih Zakat?”
“He-eh.”
“Baru bayar tiga kali ya?”
“Ng, eh, iya kan Bim.”
“Iya!”
“Wah berarti masih kurang sekali lagi.”
“Ya, bener!”
O ya, sudah hampir setahun aku, Bimo, Panji, Tatang dan Teguh membantu Mas Yusuf mengelola kios buku. Kami adalah remaja yang tergabung dalam Persatuan Remaja Masjid Al-Istiqomah atau biasa disebut PRIMA. Diantara kami Mas Yusuf-lah yang tertua. Meski lima tahun lebih tua dari kami, dilingkungan masjid dia lebih senang bergaul dengan remaja ketimbang dengan pengurus masjid. Alasannya orangtua kerjaannya cekcok melulu.
Alhamdulillah usaha kami cukup bagus. Penghasilan kami terus melonjak, terutama bila ada acara perayaan hari besar Islam. Bagiku perayaan hari besar Islam itu satu hal yang menyenangkan. Hal lain yang membuatku senang adalah bekerja dengan orang yang kuat menjaga amanah.
Ya, Mas Yusuf, seperti Nabi Yusuf, terampil memenej. Tapi menurutku, salah besar kalau dikatakan dia bisa begitu karena gelar SE yang sekarang disandangnya. Bukankah terbukti banyak orang pintar di negeri ini tapi tak bisa mengatasi krisis yang melanda?
Jadi menurutku Mas Yusuf bisa seperti itu karena pendekatannya yang tak putus pada Allah, aku yakin itu. Tapi, sering kudengar Mas Yusuf mengeluhkan kondisi masjid Istiqomah ini. Terutama bila peringatan hari besar itu selesai.
Kenapa?
Baiklah kuceritakan saja: Pengurus masjidku ini boleh dikata unik juga. Kalau untuk perayaan semacam itu, PHBI. mereka antusias sekali. Dana yang diperoleh pun bisa dibilang fantastis. Tapi setelah perayaan itu selesai, masjid kembali sepi dari jamaah. Apalagi jamaah sholat subuhnya.
Itu sebabnya kenapa Mas Yusuf punya perasaan lain. Perasaan itu berbeda dengan perasaan yang dimiliki oleh pengurus masjid. “Apa mau mereka?” kata Mas Yusuf mempertanyakan motivasi pengurus masjid. Waktu itu aku diam saja mendengar keluhannya.
“Dakwah? Ya enggak mungkin!” tegas Mas Yusuf.
Lalu Mas Yusuf mengingatkan, bahwa dakwah itu artinya menyeru atau memberi petunjuk. Orang yang memberi haruslah orang yang memiliki. Nah kalau mereka itu tidak pernah atau tidak istiqomah sholat jamaah di masjid, mana bisa dia disebut takmir?
Takmir itukan artinya pemakmur masjid. Jadi apa yang mau dia beri? Menjelang Isa, saat aku berdua saja dengan Mas Yusuf, “Ngomong-ngomong kenapa ya, masjid kita belum ada perubahan?” tanyaku membuka percakapan.
“Mas juga bingung, nggak abis pikir. Kenapa perhatian mereka begitu kecil sama masjid,” kata Mas Yusuf, sambil berbicara matanya tetap lekat pada layar monitor, serius mencatat pembukuan hari ini.
“Apa karena mereka terlalu sibuk cari uang sehingga perhatian mereka untuk masjid hanya perhatian sisa, sekedarnya saja. Ah, astagfirullah!”
“Tapi kenapa dulu mereka pada mau ketika diangkat jadi pengurus masjid?” selaku.
“Harusnya mereka sadar bahwa kepengurusan juga amanah, dan itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
“Amanah?”
“Ya!”
“Berat juga ya Mas.”
“Maksud Mas begini, Mas yakin mereka itu pasti tidak mungkin menilep duit masjid. Naudzubillah mindzalik dan kita harus husnudzhon. Tapi kalau dana-dana yang ada dikelola dengan lebih baik, pasti masjid ini bisa dibangun. Mereka hanya mementingkan diri sendiri, ribut hanya karena masalah sepele. Masing-masing berambisi ingin jadi pengurus. Atau masalah yang itu – itu aja, bidah! Tanpa diimbangi dengan kedewasaan,” urai Mas Yusuf, kali ini sorot kedua bola matanya ditancapkan ke mataku.
“Sejauh itu?”
“Ya bahkan, karena kita tinggal di komplek bank, makanya ada keengganan pengurusnya diganti, hanya karena orang yang sekarang menjabat itu dikantornya paling tinggi pangkatnya. Jadi dia enggak mau dipimpin oleh bawahannya?”
“O?”
“Ah, sudahlah, kita omongin yang lain aja.”
Aku diam.
“Begini War, besok Mas Yusuf ada panggilan kerja.”
“Panggilan kerja?”
“Iya. Mas pikir Anwar sudah bisa dilepas untuk mengelola toko buku ini.”
“Maksud Mas Yusuf?”
“Pustaka Amanah ini mau Mas pasrahin pengelolaannya sama kamu.”
“Sama Anwar?”
“He-eh, tapi ati-ati lo, ini amanah juga.”
Mas Yusuf dapat kerjaan? Wah ini tentu saja kejutan, karena beberapa kali Mas Yusuf menolak kerja. Alasannya ingin menjaga diri. Hanya mau kerja dilingkungan yang Islami, jauh dari wanita cantik dan sogok menyogok. Karena itu dia lebih cenderung membuka lapangan kerja sendiri. Seperti toko buku ini.
Hari-hari berikutnya aku mulai disibukkan dengan Pustaka Amanah. Tiga bulan pertama Mas Yusuf masih sering mengontrol. Tapi memasuki bulan keempat dia sudah mulai jarang nongol. Memasuki bulan kelima, kami mengelola Pustaka Amanah, tanpa mas Yusuf.
Karena prestasinya, Mas Yusuf diminta untuk mengelola BMT (Baitul Maal Watamwil) di cabang lain, katanya sih di Yogya.
Sepeninggal Mas Yusuf, aku makin agresif untuk mengembangkan Pustaka Amanah. Lalu entah bagaimana muasalnya, kami -atau tepatnya aku- diserahkan untuk mengelola tromol jumat. Biasanya uang tromol ini digunakan untuk keperluan sehari-hari masjid, seperti kebersihan dan honor marbot, juga honor khatib jumat. Dari sinilah kesengsaraan itu berawal.
Mulanya, aku memakai uang masjid hanya sebatas untuk menukar recehan. Hingga akhirnya aku berani menggunakan tromol jumat untuk kepentingan toko buku yang kami kelola. Kupikir, apa salahnya kalau bisa diganti, daripada mengendap di kotak. Kan lebih baik diputar. Asal bisa diganti, tak masyaalah, begitu pikirku.
Sejak itu, aku merasakan suatu hal yang tidak sehat. Kupikir aku agak boros, nafsu dagangku menggila. Akibat kesibukan yang luar biasa, pembukuan Pustaka Amanah jadi tak terkontrol lagi. Hutang menumpuk disana-sini, sedang piutang tak tercatat dengan baik. Tapi aku tak merasa khawatir karena di kas tersedia jumlah yang cukup.
Duit siapa itu?
Disinilah letak kelengahanku. Ditambah lagi sikap ketiga temanku yang ogah-ogahan mengelola Pustaka Amanah. Segalanya berjalan tanpa kontrol. Sungguh dampak dari perbuatanku itu sangat tidak sesederhana seperti yang kukira. Ibarat makan sambel, semakin kepedasan, semakin asyik. Colek dan colek lagi.
Semakin dipakai uang tromol itu, semakin menumpuk hutangku. Semua perhitungan bisnisku jadi meleset, ada saja sebabnya. Invisible hand, begitulah adanya. Karena jalan sudah tertutup, akhirnya aku mengakali pembukuan.
Makin hari kurasakan semakin pengap.
Setiap hari yang ada cuma tagihan dan tagihan, sumpek jadinya. Silaturahmi ku dengan pengurus masjid jadi terganggu. Karena ada beberapa pengurus masjid yang memasok barang dan belum bisa kubayar.
Tagihan yang beruntun membuat dadaku terasa sesak. Pernah karena tidak ada uang sesenpun, setelah sholat jamaah, aku buru-buru ngumpet di wc Karena sudah beberapa kali Pak Thamrin menagih uang kurma yang dia titipkan ke Pustaka Amanah. Sesungguhnya aku merasa hina sekali. Tapi mau bagaimana lagi? Ah, ini salahku juga.
Kesengsaraanku semakin bertambah ketika pembangunan masjid dimulai. dampaknya kios bukuku yang ada di dekat gerbang masjid tergusur dan dialihkan ke sebelah kiri masjid, dekat tempat wudhu. Tempat itu sungguh tidak nyaman. Akhirnya mudah ditebak, sepi.
Tapi Pustaka Amanah masih tetap buka, tapi lebih sering tutup, hidup segan mati mati pun ogah. Apalagi ketiga temanku itu sudah benar-benar tidak peduli lagi dengan kios buku ini. Akhirnya aku mengelola Pustaka Amanah tinggal berdua dengan Teguh.
Teguh ini seorang yang agak terbelakang. Sepintas tampak waras tapi, kalau diajak bicara lama kelamaan kamu akan tahu bahwa dia memang begitu, agak idiot. Entah karena kekurangannya itu atau karena sebab lain, kejujurannya pun sering dipertanyakan. Ya, hanya orang-orang semacam Teguh-lah yang kini pantas menjadi temanku.
Perlahan masalah-masalah ini mempengaruhi kepribadianku. Memang hati manusia itu tidak pernah kosong. Isinya kalau tidak maksiat ya taat. Selalu ada yang mendominasi.
Kalau boleh kukatakan, tak ada lagi wara di hatiku. Semangat dakwahku jadi menguap. Aku jadi enggan amar makruf nahyi munkar, aku enggan mengisi kultum. Aku jadi ingat perkataan Mas Yusuf, “dakwah itu artinya memberi.” Sekarang apa yang bisa aku beri?
Akhirnya aku tak tahan juga, belakangan ada rasa yang diam-diam menghentak di dalam dadaku. Aku ingin sekali imanku yang luntur ini kembali mengental di dadaku. Minimal aku bisa seperti dulu, giat berdakwah. Aku ingin tobat. Ah, aku tak boleh begini terus-terusan. Kelengahanku telah membuatku sengsara. Di dunia saja aku sudah begini, apalagi nanti di akhirat? Aku ngeri sekali.
Alhamdulillah, setelah dua tahun lebih Mas Yusuf meninggalkanku, akhirnya dia datang juga. Dia datang karena ada keperluan mengantarkan undangan. Mas Yusuf mau mengakhiri masa lajangnya.
Dalam kesempatan itu, meski tanpa penerangan yang sempurna karena sedang dalam tahap pemasangan listrik, Mas Yusuf mengisi Kultum. Aku kembali mendengar suaranya yang sejuk. Dia mengisi Kultum Isa dengan tema amanah. Aduhai sejuknya hati ini. Setelah sekian lama gersang tak disiram.
Malamnya kami ngobrol habis-habisan soal tema kultum tadi. Setelah acara itu, aku pulang dengan bekal satu tekad baru. Malamnya aku sujud lama sekali dalam sholat malamku. Rasanya aku sudah lama sekali tidak menangis. Setelah itu aku tertidur.
Menjelang subuh aku dibangunkan. Aku dikejutkan oleh sebuah kabar, “Masjid Istiqomah terbakar!” serbu Iin adikku.
Lebih lanjut Iin menjelaskan, Masjid itu terbakar karena ulah tukang listrik yang enggak beres kerjanya. Tapi alhamdulillah cepat diatasi sehingga tidak menjalar. “Hanya bagian kiri yang parah,”
Kalimat terakhir adikku itu cukup membuatku tersentak. Karena disitulah aku menaruh barang daganganku.
Segera aku ‘terbang’ menuju Masjid.
Kudapati harta benda milikku itu, sudah porak poranda. Rak-rak besi yang menghitam. Kertas yang beterbangan kesana-kemari, bak anai-anai. Pecahan kaca berserakan disana-sini. Aku bersyukur bahwa tuhan masih memberiku usia. Tak bisa kubayangkan bila aku masih tertidur di sana, seperti kebiasaanku.
Setengah sadar aku berjalan memasuki reruntuhan itu. Tepat dimana aku biasa menaruh kopiah untuk jualan, aku melihat ada cermin yang masih utuh. Biasanya cermin itu dipakai untuk mematut diri bagi pembeli kopiah.
Kupungut cermin itu, tapi seperti disengat ribuan volt, refleks kulempar cermin itu disertai jeritan sekuat paru-paruku. Di cermin itu memantul wajahku, HANGUS!
Buat: Puguh di Jombang, piye kabare?
Silakan Klik:
Lengkapi Kebutuhan Anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar