Rabu, 11 November 2009

Dakwah: Kemarin, Sekarang dan Esok




Dakwah adalah perjalanan panjang

Perjalanan dakwah adalah perjalanan panjang. Namun setiap kurun akan selalu didapati kemiripannya. Mirip tidak berarti sama. Kemiripan inilah yang seringkali menjebak aktivis dakwah.


Pasca kemerdekaan negeri ini dipimpin oleh Soekarno dan dilanjutkan dengan Soeharto. Pada masa Soekarno terjadi pertarungan ideologi yang sengit. Umat Islam menempuh jalur Parlementer dan juga Militer. Capaian tertinggi dari dakwah Parlementer ketika Orde Lama adalah ketika Mohammad Natsir menduduki kursi Perdana Menteri. Sedangkan puncak perlawana
n militer ketika SM Kartosoewiyo Pemimpin DI/TII ditangkap dan dihukum mati di Pulau Onrust. 


Setelah itu para kiai banyak yang memilih untuk konsentrasi di pondok pesantrennya, dengan alasan mengkader. Propaganda bahwa, ulama yang baik adalah yang menjauhi dunia mulai dihembuskan. Di saat yang sama, bandul pendulum ideologi lain mulai bergerak ke arah pemerintahan. Ke arah kekuasaan. Selanjutnya hari-hari adalah cerita tentang epos kekalahan.


Terlebih ketika Soeharto di masa Orba, menindas habis lawan-lawan politiknya. Para mubaligh Islam harus memiliki SIM (Surat Izin Mubaligh). Berkumpul lebih dari tiga orang akan ditangkap dan dikenai pasal makar. Peristiwa Tanjung Priok dan Lampung adalah sebagian dari cerita kelam itu. Umat Islam memilih tiarap. 


Di paruh terakhir kekuasaan Orba, fiqih dakwah yang diambil adalah fiqih dakwah Nabi Musa. Mendidik bayi-bayi kader di istana Firaun. Mendidik pelajar dan mahasiswa yang masih bau kencur politik di sekolah dan kampus-kampus milik pemerintah. 


Waktu berlalu para bayi-bayi itu pun mulai tumbuh. Aktivis Islam kembali bersuara. Sebenarnya tak hanya milik umat Islam kebebasan itu. Semua ideologi pun berani bersuara. Pertarungan ideologi pun kembali terjadi, baik di jalan dalam pekik orasi demonstran, di Parlemen, maupun pertempuran di Ambon. 


Reformasi mengantarkan para bayi itu untuk menduduki kursi yang dulu diduduki oleh penguasa. Kini setelah reformasi lebih dari satu dasawarsa, umat Islam kembali berada di persimpangan. Sebagian memakai demokrasi sebagai keadaan darurat, sebagian anti demokrasi dan sebagian lagi gamang. 


Gamang. Apakah sekarang ini pemerintahan ketika dipegang SBY akan mengulang kembali zaman Soeharto. Umat Islam hanya dimanfaatkan untuk sebuah rezim baru, apakah umat Islam akan saling diadu? 


Meskipun sepintas terlihat bahwa kekuasaan ada di tangan SBY. Karena memang SBY pemegang kekuasaan yang terpilih secara mutlak lewat pemilu pilpres satu putaran. Tapi, bukan berarti SBY berani menentukan segala sesuatunya seperti Soeharto dulu. 


Ada perbedaan yang sangat mendasar antara Masa Soeharto dengan masa pemerintahan sekarang. Perbedaan itu adalah, ketika Orba, elemen lain selain Soeharto diam, atau didiamkan paksa oleh penguasa. Sedangkan di masa sekarang, elemen di luar SBY bergerak. Bahkan cenderung tak terkendali. 


Semua variabel, apakah itu kiri atau kanan semuanya bergerak. Pemerintah dalam hal ini SBY seperti tak mampu untuk mengendalikan sepenuhnya. Meski pemenang pemilu dan kekuasaan sudah dalam genggamannya. Tak berani SBY memukul variabel yang berbeda. Karena bisa menjadi blunder, menjadi pukulan balik. Maka elemen-elemen itu akan bergerak mencari keseimbangan. 



Situasi ini harus dibaca sebagai peluang oleh aktivis dakwah. Aktivis dakwah harus berani mengambil kesempatan ini masuk kedalam gelanggang untuk bertarung dengan elemen lain. Saling menyodorkan program. Saling beradu konsep. Dengan keyakinan Islam Ya’lu wala yu la alaih. Bahwa Islam itu tinggi dan tak ada yang lebih tinggi dari Islam. 


Di tengah politik Indonesia yang masih labil ini umat Islam harus menampakkan keshalihannya. Sehingga Islam menjadi rahmatan lil’alamin. 


Indonesia sebagai negara agraris yang berada dalam rumpun melayu mempunyai modal untuk memimpin peradaban. Karena peradaban lain, seperti Arab, Eropa, dan Amerika, Romawi, Persia dan Tartar sudah pernah memimpin. Bukankah Allah berjanji akan menggilirkan kekuasaan. 


Orang Melayu memiliki modal itu. Selain Melayu identik dengan Islam. Melayu memiliki sifat-sifat positif yang mendukung, ramah-tamah, kreatif dan seperti tanahnya yang diinjak, liat. Tanah di bumi Melayu adalah tanah yang liat, yang bila ditekan sekuat tenaga tidak hancur malah justru menempel. Tanah itu tak terkalahkan. 


Penduduknya bisa menyimpan senyum meski tanahnya gempa. Gunung meletus pun akan berubah menjadi kesuburan. Pantainya tak bertepi ombak lautnya menjadi kawan nelayan. Barang-tambangnya belum sepenuhnya tergali. 


Jadi hari ini memang berbeda dengan kemarin. Saat ini kesempatan untuk memanfaatkan potensi itu semua sangat terbuka. 


Sayang bila kita umat Islam masih berkelahi sesama. 


Apalagi ideologi non Islam tengah dilanda kegamangan. Apakah kita akan menunggu sampai semua rata dengan gempa. Sehingga tumbuh generasi baru? 


Tentu tidak. Karena dakwah milik kita, kemarin, hari ini dan esok. Tentu konsep Islam Ya’lu wala yu’la alaih tak bisa dibantah. 


Persoalannya adalah bagaimana aktivis Islam membuktikannya. Meski dakwah perjalanan yang panjang, kita tak mesti kehilangan momentum | Eman Mulyatman

Silakan Klik:

Mafaza-Store

Lengkapi Kebutuhan Anda



Tidak ada komentar: